
Jakarta 21/11/2025, MedanPers. Id
Syafruddin Prawiranegara: Sang Penantang Kekuasaan dari Jakarta hingga Hutan Sumatra Pada paruh kedua 1950-an, Indonesia dilanda krisis multidimensi: ekonomi melemah, politik memanas, dan ketegangan pusat-daerah menguat. Dalam konteks ini, Syafruddin Prawiranegara, seorang ekonom dan politisi dari Masyumi, menjadi sosok paling kontroversial sekaligus menentukan.Awal Krisis dan Ketegangan Politik 1957Pada 1957, ekonomi Indonesia melemah dan sentimen anti-investasi asing, terutama terhadap perusahaan Belanda, menguat. Syafruddin yang pro-investasi asing menjadi sasaran kritik tajam.
Sukarno mulai merancang konsep Demokrasi Terpimpin yang mendukung kekuasaan presiden terpusat, sebuah konsep yang ditentang keras oleh Masyumi dan akar rumputnya. Pada 8 Januari 1957, Masyumi keluar dari koalisi pemerintah, menandai perpecahan politik yang serius .
Nasionalisasi Perusahaan BelandaSetelah Belanda menggagalkan pembahasan Papua Barat di PBB, Sukarno memerintahkan nasionalisasi perusahaan Belanda oleh serikat buruh dan militer. Syafruddin secara terbuka menentang nasionalisasi ini dan mengkritik kebijakan pemerintah, bahkan di depan Sukarno sendiri. Namun, perubahan politik membuatnya menjadi sasaran pengawasan dan intimidasi. Pada Januari 1958, demi keselamatan, ia meninggalkan Jakarta menuju Sumatra Menuju Pemberontakan PRRIDi Sumatra, Syafruddin terlibat rapat-rapat rahasia dengan tokoh militer seperti Kolonel Maludin Simbolon. Meski ada wacana pemisahan diri Sumatra, Syafruddin lebih memilih perjuangan politik menuntut pembubaran kabinet Djuanda dan pembentukan pemerintahan baru. CIA mulai memberikan dukungan sembunyi-sembunyi. Pada 15 Februari 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan dan Syafruddin diangkat menjadi Perdana Menteri dan Menteri Keuangan PRRI. Ia menegaskan tidak menginisiasi PRRI, tapi bertanggung jawab atas perjuangan prinsip kenegaraan .
Perjuangan Gerilya dan AmnestiPemerintah pusat menyerang PRRI dengan kekuatan militer, menyebabkan PRRI mundur menjadi gerilya di hutan. Dukungan Amerika ditarik dan setelah serangkaian kekalahan, Syafruddin masih bertahan. Pada 8 Februari 1960, PRRI memproklamasikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) dengan Syafruddin sebagai presiden.
Namun, kondisi medan yang sulit membuat mereka terdesak. Pada 17 Agustus 1961, Syafruddin memerintahkan gencatan senjata dan menyerahkan diri pada 25 Agustus 1961. Ia sempat bebas karena amnesti, tapi ditahan tanpa proses hingga Juli 1966 menjelang lengsernya Sukarno .
KesimpulanSyafruddin Prawiranegara adalah sosok pemikir dan politisi yang berani menentang kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan, khususnya dalam konteks nasionalisasi dan Demokrasi Terpimpin.
Kisah perjuangannya mencerminkan konflik idealisme dan realitas politik Indonesia pasca kemerdekaan, di mana ia rela kehilangan jabatan, hidup dalam pelarian, dan masuk penjara demi mempertahankan prinsipnya
Social Header