
Sumut 25/11/2025, MedanPers. Id
Ketika matahari baru naik di atas balai desa—hangat, pelan, dan selalu datang tepat waktu—para kepala desa di seluruh Indonesia justru sedang gelisah. Bukan soal hama yang menyerang padi, bukan pula karena jadwal bantuan sembako yang molor. Keresahan pagi itu punya nama yang lebih besar: Koperasi Desa Merah Putih
Program koperasi raksasa yang digadang-gadang akan menjadi mesin ekonomi desa itu terdengar indah di podium, tetapi jadi lain ceritanya ketika menyentuh tanah tempat para kepala desa berdiri. Pemerintah bilang ini adalah “tulang punggung masa depan”. Tapi tulang punggung siapa? Karena dana yang akan dipakai berasal dari kantong yang sama dengan kebutuhan harian desa: Dana Desa. Dan jumlahnya? Bukan recehan—Rp 40 triliun per tahun.
Tak heran, kabar itu langsung bikin Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) riuh. Dari Aceh sampai Papua, suara mereka satu: “Kami tidak menolak koperasi, tapi jangan ambil nafas kehidupan desa untuk membiayainya.” Menurut mereka, memotong Rp 40 triliun dari pagu Dana Desa yang sekitar Rp 60 triliun itu sama saja seperti “mengempiskan paru-paru desa”. Banyak desa bisa jadi hanya menerima di bawah Rp 200 juta per tahun—angka yang bahkan kadang tak cukup untuk memperbaiki jalan rusak, mempertahankan posyandu, atau melanjutkan program pemberdayaan yang sudah berjalan.
Pemerintah mencoba menenangkan dengan istilah yang lebih halus: ini bukan pemangkasan, melainkan reformulasi. Dana Desa tidak hilang, hanya dipindahkan untuk investasi jangka panjang—sebuah janji bahwa desa akan lebih mandiri kelak. Tapi bagi para kepala desa, itu terdengar seperti mengganti beras hari ini dengan janji panen tahun depan.
Keberatan tak hanya datang dari APDESI. Para ekonom gugup membayangkan koperasi tumbuh massal secepat kedip mata. SDM belum siap, sistem usaha belum matang, dan potensi gagal bayar mengintai. Ada kajian yang menyebut risiko kegagalan bisa mencapai 4–5% per tahun. “Kalau gagal bayar terjadi, siapa yang menanggung?” tanya mereka. “Jangan-jangan desa lagi.”
Aktivis desa menambahkan kekhawatiran lain: desa punya karakter, budaya, dan kemampuan yang berbeda-beda. Memaksakan satu model koperasi untuk 80.000 desa ibarat menyuruh semua orang memakai sepatu ukuran yang sama.
Di Senayan, kritik juga mengalir. Skema “intercept”—pemotongan Dana Desa otomatis jika koperasi gagal bayar—dinilai terlalu riskan. Ada yang blak-blakan menyebut rencana pembangunan Kopdes “terlalu mahal dan tak realistis.”
Padahal, mimpi pemerintah sebenarnya indah: membangun koperasi modern yang bisa menampung hasil panen, memangkas peran tengkulak, membuka lapangan kerja, bahkan menjadi minimarket desa. Mimpi yang—jika berhasil—bisa memutar ekonomi hingga ratusan triliun rupiah.
Perdebatan ini akhirnya memunculkan dua arus solusi. Kubu kontra ingin agar Dana Desa tetap fokus pada kebutuhan dasar—mulai dari pilot project kecil, memperkuat SDM dulu, hingga menyesuaikan model koperasi dengan potensi tiap desa. Sementara kubu pro mendorong reformulasi Dana Desa, pendanaan multi-sumber, pembangunan bertahap, dan revisi aturan agar semuanya transparan dan aman.
Pada dasarnya, ini bukan pertarungan hitam-putih. Keduanya sama-sama ingin desa maju—hanya jalannya yang berbeda. Namun ketika angka Rp 40 triliun berputar-putar seperti awan gelap di atas balai desa, kecemasan pun sulit ditepis.
Sekarang, desa-desa berada di persimpangan: memilih berinvestasi besar dengan risiko tinggi, atau melanjutkan pembangunan dasar yang lebih pasti. Apa pun pilihan pemerintah nanti, satu pesan dari desa tetap menggema:
“Jangan biarkan kami menanggung risiko sendirian.”
IAB
Social Header