Breaking News

Jangan Ada Darah Pengkhianat di Tubuhmu: Ingatan dan Tantangan Generasi Muda atas G30S/PKI Oleh. Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih.,S.IP.,M.AP



Bali 30/9/2025 , MedanPers. Id
Malam 30 September 1965 adalah bab kelam yang terus membekas dalam nadi bangsa. Di balik kabut dan keheningan, tangan-tangan pengkhianat merenggut nyawa para jenderal, meremukkan harapan, dan menyuntikkan teror ideologi ke dalam tubuh negara. Kisah ini bukan sekadar sejarah yang sudah lampau ia adalah peringatan hidup agar darah pengkhianat tak kembali mengalir dalam jiwa generasi penerus.

Titik awal pengkhianatan lahirnya tangan kejam
Gerakan ini dipimpin atas nama “revolusi”, tapi isinya justru bayangan kelam aksi kudeta dan pembunuhan. Pada dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat diculik dari kediamannya, diseret ke Lubang Buaya, dan dibunuh dengan cara keji. Mereka yang seharusnya menjaga keamanan negara malah menjadi korban pengkhianat dengan rencana terorganisir. 
Upaya ini bukan sekadar penculikan; ada elemen penyiksaan, penghinaan, dan usaha pembungkaman atas darah para pahlawan negeri. Dalam narasi resmi Orde Baru, PKI digambarkan menjalankan setiap gerakan sampai “detail terakhir” dan menikmati kekerasan, tanpa belas kasihan. Para jenderal disiksa, rumah-rumah mereka diobrak-abrik, ketakutan merambat ke relung keluarga mereka. 
Gelombang dendam yang membajak kemanusiaan
Respons nasional terhadap pengkhianatan itu kemudian melahirkan gelombang pembasmian besar-besaran terhadap anggota atau dugaan simpatisan PKI di berbagai daerah. Diperkirakan ratusan ribu hingga lebih dari setengah juta korban jatuh dalam periode 1965–1966. 

Penumpasan dilakukan tidak hanya oleh militer; warga sipil, kelompok pemuda, dan jaringan lokal ikut terlibat dalam aksi pemburuan terhadap “musuh ideologi.” Dalam bentangan tanah air, mata merah dendam berkaca-kaca tidak peduli benar atau salah, tuduhan simpatisan pun cukup untuk jadi eksekusi. Akibatnya, tak hanya darah yang menetes, tapi trauma kolektif terbentuk dalam jiwa bangsa. Keterbatasan rekonsiliasi dan pencatatan yang transparan membuat luka ini terus merayap dalam ingatan masyarakat Indonesia.

Sebuah peringatan dari sejarah ke hati
Kisah ini bukan sekadar peristiwa masa lalu. Ia adalah lentera peringatan bagi generasi muda, agar darah pengkhianat tak mengalir dalam diri kita. Bagaimana bisa generasi penerus nasional menjadi asing terhadap nilai-nilai dasar bangsa? Bagaimana mungkin hati muda digelayut propaganda yang meracuni rasa cinta tanah air? Generasi muda adalah aset paling berharga bagi kelangsungan NKRI. Jika mereka kehilangan rasa patriotisme, jika mereka terbuai ideologi merongrong, maka benih pengkhianat bisa merembes kembali.
Empat pilar yang harus teguh berdiri

Untuk mencegah mental pengkhianat berakar kembali, generasi muda harus kukuh memegang empat konsensus dasar bangsa:
Pancasila
Sebagai dasar falsafah negara, Pancasila mewujudkan nilai tunggal dalam keberagaman. Ideologi ekstrem kiri atau kanan yang mengingkari prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan akan runtuh bila Pancasila dijadikan kompas moral.
Undang-Undang Dasar 1945

UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Tak ada ruang bagi kekuasaan gelap atau kudeta ideologis yang merusak konstitusi. Generasi muda harus memahami betul makna konstitusi dan pentingnya tegaknya supremasi hukum.
Bhinneka Tunggal Ika
Persatuan dalam perbedaan adalah nyawa bangsa. Ideologi yang memaksakan keseragaman atau kebencian terhadap yang berbeda akan memecah belah NKRI. Jangan pernah meremehkan keragaman itulah kekuatan kita.
NKRI sebagai Benteng Akhir

Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan sekadar peta. Ia adalah rumah bersama setiap anak negeri. Merebut kedaulatan bangsa, mempertahankan integritasnya, adalah tugas suci setiap generasi.
Kiasan darah diri sendiri
Bayangkan: jika generasi penerus membiarkan ideologi pengkhianat menetap seperti virus dalam jiwanya walau tanpa sadar maka darah asing itu mengalir dalam nadi kita sendiri. Seperti kata pepatah: “Air tenang menghanyutkan.” Tampaknya sulit dideteksi, tapi racun bisa merambat perlahan. Oleh karena itu, jiwa mahasiswa, pelajar, pemuda di desa dan kota, harus berakar pada sejarah mengerti luka bangsa, menyimak tetesan darah pengkhianat di masa lalu, agar tak ada kesempatan untuk peristiwa serupa lahir lagi.

Teori pengingatan kolektif dan lingkungan sosial
Dalam teori sosiologi kenangan kolektif (collective memory), sebuah bangsa mempertahankan identitasnya lewat narasi bersama atas masa lalu baik yang menyakitkan maupun yang membanggakan. Jika generasi muda kehilangan narasi itu, ia akan kehilangan pijakan moral untuk kemerdekaan yang sejati. Teori psikologi sosial juga menyebut “identitas sosial”: kita membentuk diri berdasarkan kelompok, lingkungan, dan nilai-nilai yang kita anut. Bila lingkungan pendidikan, media, keluarga menanamkan nilai-nilai pluralisme, cinta tanah air, dan kewaspadaan terhadap ideologi destruktif, maka mental pengkhianat sulit ditanamkan dalam benak generasi muda.
Penutup: janji cinta untuk tanah pertiwi

Wahai generasi penerus bangsa, tanggungkanlah beban sejarah sebagai cambuk perjuangan. Jangan biarkan darah pengkhianat mengalir dalam jiwa kalian. Jadilah benteng nilai: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI bukan sekadar kata, tetapi praktik dalam laku sehari-hari. Jadilah manusia merdeka yang berpikir kritis, berkarakter tegas dalam menjaga persatuan, dan berani menolak segala bentuk ideologi merusak.

 Karena merah putih tidak ditancapkan di bumi ini dengan ratapan dan belas kasihan, melainkan dengan keringat, air mata, dan darah para pahlawan.
Semoga peristiwa kelam ini menjadi maha-peringatan: bahwa kebiadaban pengkhianat tidak akan tertanam di jiwa kita selama generasi muda tetap mengobarkan cinta tanah air.
© Copyright 2022 - MEDAN PERS