
Denpasar, 25/7/2025
Tom Lembong adalah Thomas Trikasih Lembong. Kalau tak salah duga, Thomas itu nama baptisnya.
Dalam tradisi Katolik, ada beberapa “Thomas” yang bisa dijadikan patron atau nama baptis seseorang. Tapi yang paling populer, selain Thomas Aquinas ya Thomas murid Yesus.
Maka, lagi-lagi berasumsi, Thomas-nya Tom Lembong adalah Thomas, murid Yesus.
Ada yang istimewa dengan Thomas yang satu ini.
Ketika murid-murid lain percaya bahwa Yesus sudah bangkit dari mati, Thomas skeptis! Kawan sepermuridannya, Yohanes, menulis bahwa Thomas baru akan percaya kalau ia sudah melihat bekas paku pada tangan-Nya dan mencucukkan jari ke dalam bekas paku itu, dan mencucukkan tangan ke dalam lambung-Nya. Kalau enggak, seperti dilaporkan Yohanes, “Sekali-kali aku tidak akan percaya!”
Delapan hari kemudian Yesus melunasi keinginan Thomas. Ia mendatangi Thomas dan memintanya untuk memasukkan jari ke luka paku dan lambung Yesus yang bolong karena ditusuk prajurit Romawi.
Thomas melakukannya dan ia pun jatuh percaya.
Tom Lembong sejak beberapa minggu terakhir menjadi mata pusaran berita di Indonesia. Proses hukumnya banyak disorot orang. Aku tak hendak membahas topik yang sama karena sudah terlampau banyak yang melakukannya. Aku lebih ingin mencoba mendalami pemikiran Tom dalam perspektif yang sangat sempit, sesempit pengetahuanku tentangnya.
Perspektif yang kupakai adalah kenapa Tom yang tumbuh dan besar di luar negeri memutuskan pulang ke Tanah Air. Padahal otaknya cemerlang, ia pun sudah berkarir dengan sangat baik di Amerika Serikat sana.
Aku punya banyak kenalan yang kisah hidupnya kurang lebih sama seperti Tom.
Lahir di keluarga kaya raya, ketika masih anak-anak dikirim ke luar negeri untuk studi hingga lulus sarjana lalu sesudahnya diminta pulang oleh orang tua untuk melanjutkan usaha keluarga, merawat orang tua sambil membangun keluarganya sendiri. Ketika ia beranak, anaknya akan menjalani siklus yang sama dengan dirinya dulu, dikirim ke luar negeri, lalu disuruh kembali, demikian seterusnya. Maka kubayangkan, alasan kepulangan Tom barangkali juga demikian, wajar untuk orang-orang di kelas sosialnya.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa yang membuat Tom tertarik untuk masuk ke gelanggang politik nasional. Untuk yang satu ini aku tak punya contoh apalagi clue.
Tom meng-endorse Jokowi sejak awal mula.
Ia seperti sedang berinvestasi terhadap sosok walikota Solo itu seperti halnya ia berpialang saham di bursa pasar modal. Hasilnya memang luar biasa. Tak percuma Tom sering bolak-balik ke Solo untuk ‘merawat’ investasinya itu karena Jokowi kemudian menjadi gubernur DKI Jakarta lalu dua tahun berikutnya jadi presiden. Maka tak heran kalau Tom kemudian masuk ke dalam kabinet menjadi menteri perdagangan.
Tak lama memang. Konon Tom melihat Jokowi berubah, keduanya lalu berbeda arah.
Lepas dari Jokowi, Tom ‘berinvestasi’ pada sahabat lamanya, Anies Baswedan. Lagi-lagi berhasil, Anies jadi gubernur lalu tahun 2024 maju dalam Pilpres dan Tom menjadi salah satu pentolannya.
Anies kalah sudah bisa diterka tapi yang tak dinyana, Tom dibelenggu atas dugaan kasus korupsi yang disangkakan terjadi ketika ia di masa lampau menjadi menteri di era Jokowi. Ia divonis bersalah meski tak sepeser pun ia terima dari kasus itu. Jika keputusan pengadilan tinggi atau mahkamah agung tak menganulirnya, ia harus mendekam lebih lama di penjara, 4.5 tahun.
Apakah Tom menyesal telah pulang ke Indonesia?
Aku tak yakin. Seperti kutulis di atas, itu panggilan keluarga.
Tapi apakah Tom menyesal terjun ke dunia politik jika harus menelan pil sepahit ini?
Pun aku tak yakin.
Orang sepiawai Tom tentu sudah menakar resiko hingga seburuk ini.
Ketidakyakinanku juga besar karena seperti halnya yang dilakukan sang patron, Santo Thomas, Tom Lembong sejatinya sedang mencucukkan tangannya dalam-dalam ke dalam luka lambung Yesus.
Ia sedang mendalami kepercayaan bahwa bangsa dan tanah airnya itu memang perlu diperbaiki melalui kedalaman luka yang ia cucuki. Tak sekadar dengan menjadi pengusaha sukses, tak cukup hanya dengan mengendorse tokoh dan jadi menteri tapi dengan pengorbanan dirinya sendiri seperti yang dilakukan Sang Guru, dua ribu tahun sebelum Tom hidup di bumi manusia ini.
Penjara bukan akhir bagi Tom melainkan titik awal.
Awal untuk ia akhirnya percaya bahwa dengan keterbatasannya, Tom Lembong bisa jadi pondasi awal bagi kebangunan bangsa dan tanah airnya di masa depan.
Pun jika tidak, ia akan diingat sebagai korban mahal yang dipersalahkan demi kemurkaan dan ketamakan yang dihalalkan!
Tirta
Sumber
DV,
Superblogger Indonesia
Social Header